Selamat Datang di Confreria Reinha Rosari Larantuka

Darah dan Pengkhianatan : Sengsara Yesus di Jalan Keselamatan

 

Darah dan Pengkhianatan : Sengsara Yesus di Jalan Keselamatan
(Bernadetta da SS pope Leo xIII in Roma 5 Aprile 1890)




Malam di Yerusalem begitu kelam. Angin berembus di antara pepohonan zaitun di Getsemani, membawa kesunyian yang mencekam. Aku berlutut di tanah yang dingin, berdoa dalam kegelisahan yang mendalam. Keringat bercampur darah menetes dari dahiKu, seolah bumi pun turut menangis bersamaKu. "Bapa, jika mungkin, biarlah cawan ini berlalu dari padaKu, tetapi bukan kehendakKu yang terjadi, melainkan kehendakMu". Aku tahu, saatKu telah tiba.

Dalam kegelapan, langkah kaki serdadu mendekat. Seratus lima puluh orang dengan pedang dan tombak mengelilingiKu, seakan Aku seorang penjahat besar. Yudas, muridKu sendiri, mendekat dan mencium pipiKu. "Dengan ciuman engkau menyerahkan Anak Manusia?". HatiKu pedih, bukan karena pengkhianatan ini tak terduga, tetapi karena kasihKu padanya tak pernah berkurang.

Mereka menangkapKu dan membelenggu tanganKu. Dua puluh tiga orang menarikKu dengan kasar, menyeretKu menuju rumah Kayafas, Imam Besar. Sepanjang malam, mereka mengajukan kesaksian dusta, mencari alasan untuk menjatuhkan hukuman mati. Aku diam, seperti domba yang dibawa ke pembantaian . Sementara itu, di halaman luar, Petrus menyangkalKu tiga kali sebelum ayam berkokok. Aku menatapnya, dan ia pun menangis dengan kepedihan yang dalam .

Saat fajar menyingsing, mereka membawaKu ke hadapan Pontius Pilatus. Ia menatapKu dengan kebimbangan. "Apakah Engkau Raja orang Yahudi?" tanyanya. "Engkau sendiri yang mengatakanya," jawabKu. Pilatus tidak menemukan kesalahan padaKu, namun massa berteriak, menuntut kematianKu. Ia mencoba melepaskanKu dengan memberikan pilihan kepada mereka—Aku atau Barabas, seorang pemberontak dan pembunuh. 

"Salibkan Dia!" suara mereka menggema, memekakkan telinga. Dalam ketakutan, Pilatus mencuci tangannya, dan berkata, "Aku tidak bersalah atas darah orang ini." Tetapi mereka berteriak, "Biarlah darah-Nya ditanggung oleh kami dan anak-anak kami!".

Aku diserahkan untuk dicambuk. Cambuk berduri merobek dagingKu, enam ribu enam ratus enam puluh enam kali mereka menghujamkan pecutan itu ke tubuhKu. Rasa sakit menjalar di setiap bilur yang terbuka. Mahkota duri mereka tekan ke dahiKu, melukai kepalaKu dengan seribu seratus sepuluh luka. Darah mengalir, menetes ke tanah yang telah menyerap tangisanKu pada malam sebelumnya. Mereka menampar wajahKu seratus delapan kali, meludahiKu seratus delapan puluh kali. Aku tetap diam, karena Aku datang bukan untuk membalas, melainkan untuk menebus.

Mereka menanggalkan pakaianKu dan mengenakan jubah ungu, mengejekKu sebagai Raja dengan mahkota duri dan tongkat di tangan. "Salam, hai Raja orang Yahudi!" mereka tertawa, tanpa menyadari bahwa Aku memang Raja—bukan hanya bagi orang Yahudi, tetapi bagi seluruh dunia .

Di antara enam ratus delapan serdadu yang mengiringi perjalananKu ke Golgota, hanya tiga orang yang menatapKu dengan belas kasih. Seribu delapan orang lainnya menghina dan meludahiKu, tetapi Aku tetap melangkah. Salib yang berat ini bukan beban, melainkan takdir yang Aku terima dengan kasih. Dalam perjalanan, tubuhKu semakin lemah. Seorang pria dari Kirene, Simon, dipaksa membantu memikul salibKu. Ia tak tahu bahwa beban ini adalah beban kasih yang tak terhingga.

Di puncak Golgota, mereka menancapkan paku di tangan dan kakiKu. Palu menghantam, memaku tubuh ini ke kayu salib. DarahKu menetes, dua puluh delapan ribu empat ratus tiga puluh tetesan yang menjadi saksi cintaKu kepada dunia. Orang-orang menatapKu, beberapa menangis, beberapa mengejek. "Jika Engkau Anak Allah, turunlah dari salib!". Aku bisa turun, tetapi Aku memilih untuk tetap tinggal. Sebab cintaKu lebih besar dari rasa sakit ini.

Di saat-saat terakhir, Aku berseru, "Eli, Eli, lama sabakhtani?"—"AllahKu, AllahKu, mengapa Engkau meninggalkan Aku?". Langit menjadi gelap, bumi bergetar, dan tirai Bait Suci terbelah. Segalanya berubah. Aku menghembuskan napas terakhir, "Sudah selesai.". Bukan kekalahan, tetapi kemenangan.

Ketika kalian memandang salib ini, ingatlah: di dalam penderitaan yang paling dalam, tersimpan kemenangan yang tak pernah kalian duga. Setiap luka adalah bahasa kasihKu, yang menunggu untuk dibaca oleh hati yang percaya.

"Aku telah menanggung semuanya, bukan karena Aku harus... tetapi karena Aku mencintai kalian."



0 Komentar