Selamat Datang di Confreria Reinha Rosari Larantuka

Peran Konfreria dan Suku Semana dalam Menjaga Tradisi Iman Katolik di Larantuka


Peran Konfreria dan Suku Semana
Dalam Menjaga Tradisi Iman Katolik
di Larantuka

Sumber dok.pos-kupang.com

Semana Santa, atau Pekan Suci, adalah tradisi keagamaan yang telah berakar selama berabad-abad di Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Di balik perayaan ini, terdapat peran penting dari Konfreria Reinha Rosari dan suku-suku Semana yang menjaga dan melestarikan tradisi tersebut.

Pada periode antara tahun 1773 hingga 1853, Kerajaan Larantuka mengalami kekosongan pemimpin rohani Katolik selama hampir 80 tahun. Kekosongan ini disebabkan oleh beberapa faktor utama, di antaranya penarikan misionaris Dominikan, minimnya dukungan dari pemerintah kolonial Belanda, serta kesulitan akses dan isolasi wilayah. Pada tahun 1773, Portugis mulai kehilangan kendali atas wilayah-wilayah jajahannya di Kepulauan Indonesia akibat perubahan kebijakan kolonial dan melemahnya kekuatan politik serta ekonomi mereka. Sebagai akibatnya, para misionaris Dominikan yang sebelumnya aktif di Larantuka ditarik kembali ke wilayah lain, sehingga meninggalkan umat Katolik tanpa bimbingan rohani yang tetap.

Di sisi lain, pada awal abad ke-19, Belanda mengambil alih kendali atas beberapa wilayah yang sebelumnya dikuasai Portugis, termasuk Flores. Pemerintah kolonial Belanda, yang mayoritas Protestan, tidak terlalu mendukung perkembangan Katolik di daerah ini. Akibatnya, tidak ada upaya untuk mengirim misionaris Katolik ke Larantuka selama periode ini. Selain itu, Larantuka merupakan wilayah kepulauan yang saat itu sulit dijangkau, sehingga mendatangkan pemimpin rohani baru dari luar menjadi tantangan besar.

Dalam situasi ini, Raja Larantuka yang berkuasa pada waktu itu mengambil langkah strategis untuk mempertahankan iman Katolik rakyatnya. Bersama Konfreria, yang merupakan serikat persaudaraan peninggalan ordo Dominikan, ia mengajak masyarakat untuk tetap menjalankan ibadah meskipun tanpa kehadiran imam. Salah satu cara yang diterapkan adalah melaksanakan Doa Rosario setiap hari Sabtu. Doa Rosario dipilih karena sifatnya yang bisa dilakukan secara bersama-sama dan telah diajarkan oleh para misionaris Dominikan sebelum mereka pergi. Doa ini dilaksanakan di kapela-kapela kecil (armida) yang dibangun oleh berbagai suku kerabat di Larantuka. Selain itu, masyarakat setempat kemudian membentuk komunitas yang bertanggung jawab untuk menjaga patung-patung suci dan benda-benda peninggalan Katolik dari era Portugis.

Seiring berjalannya waktu, tradisi Doa Rosario ini berkembang menjadi sebuah perayaan keagamaan tahunan. Masyarakat mulai menghubungkan ibadah ini dengan Pekan Suci menjelang Paskah, yang akhirnya menjadi cikal bakal Semana Santa di Larantuka. Dalam proses ini, Konfreria Reinha Rosari memiliki tugas utama untuk memastikan umat terus berdoa, terutama melalui Doa Rosario. Rosario menjadi praktik utama dalam mempertahankan iman, terutama setelah kekosongan pemimpin rohani pada waktu itu. Selain itu, Konfreria juga bertanggung jawab atas patung Tuan Ma (Bunda Maria) dan Tuan Ana (Yesus Kristus) yang dibawa oleh misionaris Portugis. Mereka memastikan bahwa patung-patung ini tetap terawat dan dihormati oleh umat. Sejak awal, Konfreria berperan aktif dalam mengoordinasikan prosesi religius, mengatur perarakan patung, doa-doa bersama, dan ibadah selama Pekan Suci.

Dalam perkembangannya, perayaan Semana Santa tidak hanya menjadi ibadah komunitas biasa tetapi juga melibatkan 13 suku kerabat yang dikenal sebagai Suku Semana. Suku-suku Semana ini memiliki peran penting dalam tradisi Semana Santa, khususnya dalam kegiatan doa atau "mengaji" di Kapela Tuan Ma. Selama masa Pra-Paskah, terdapat 13 suku Semana yakni Suku Kabelen Resiona,Suku Fernandez Lewai (Kabu/Laveri),Suku Raja Ama Koten DVG, Suku Ama Koten Lokea Aliandu, Suku Raja Ama Kelen Blanteran da Rosari,Suku Ama Maran Fernandez,Suku Sau Diaz Pohon Asam,Suku Riberu da Gomez-Mesti de Campo, Suku da Silva Ama Kelen Balela,Suku Lamuri-Ama Hurit Balela,Suku da Silva Mulowato, Suku Lawerang-Pante Besar dan Suku Fernandez Aikoli-Kapitan Jantera, secara bergilir melakukan "mengaji Semana" selama sepekan, tepatnya pada hari Jumat dan Sabtu, di Kapela Tuan Ma. Kegiatan "mengaji Semana" ini merupakan bentuk devosi dan penghormatan kepada Bunda Maria, yang diwakili oleh patung Tuan Ma. Patung ini memiliki peran sentral dalam ritual devosi Semana Santa, di mana peran besar patung Tuan Ma sangat terasa dalam masyarakat Katolik di Larantuka.Selain itu, mereka mengorganisir prosesi laut dan darat. Perayaan Semana Santa kini mencakup prosesi perarakan patung Yesus dan Maria di laut (Prosesi Laut) dan darat (Prosesi Jalan Salib). Tidak hanya itu, suku-suku ini juga membantu jalannya ibadah dan ritual Katolik. Mereka memiliki tanggung jawab dalam memimpin doa dan menjaga nilai-nilai tradisi keagamaan selama Pekan Suci.

Pada tahun 1853, setelah hampir 80 tahun tanpa pemimpin rohani, Gereja Katolik akhirnya mengirim kembali imam-imam ke Larantuka. Sejak saat itu, Semana Santa terus berkembang dan menjadi tradisi religius yang unik di Indonesia, mempertahankan unsur-unsur budaya Portugis dan adat lokal. Periode 1773–1853 menjadi masa kritis bagi umat Katolik di Larantuka, tetapi juga menjadi bukti keteguhan iman mereka. Berkat inisiatif Raja Larantuka bersama Konfreria dan peran suku-suku Semana, umat tetap mempertahankan iman mereka melalui Doa Rosario, yang akhirnya berkembang menjadi Semana Santa—perayaan Katolik terbesar di Indonesia Timur hingga saat ini.

Daftar Pustaka

Aritonang, J. S., & Steenbrink, K. (2008). A History of Christianity in Indonesia. Leiden: Brill.

Bakker, S. J. (1993). Sejarah Gereja Katolik di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

de Castro, A. (1867). Asiatic Islands and Australia: Vol. II. London: Trubner & Co.

Hitchcock, M. (1996). Islam and Christianity in Indonesia: The Relationship Between Religion and Culture. London: Routledge.

Steenbrink, K. (2003). Catholics in Indonesia: A Documented History 1808-1942. Leiden: KITLV Press.

0 Komentar